"APABILA suaranya terdengar di Timur, sebenarnya dia berada di barat.Kalau suaranya terdengardi Utara, maka dia berada di Selatan; dan apabila pekiknya terdengar di udara,dia berada di bumi."
INILAH salah satu kesaktian Puyang Pekik Nyaring. Legenda puyang (nenek moyang) yang berkuasa di Sungai Lematang, salah satu sungai yang bermuara ke Sungai Musi.Di tajungan (semenanjung) pertemuan Sungai Lematang dan Sungai Musi, secara administratif, masuk dalam wilayah Kecamatan Sungairotan (Muaraenim).
KONON, kesaktian Puyang Pekik Nyaring tak tertandingi. Wilayah Sungai Lematang tak
ada yang berani mengganggu. Termasuk, penguasa di wilayah hilir Sungai Musi. Pengaruh dan wilayah kekuasaan Pekik Nyaring dan kesaktiannya, membuat penguasa “kerajaan” hilir mencari akal untuk menaklukkannya. Sampai akhirnya, Sang Raja
mengirim putrinya untuk diserahkan ke Pekik Nyaring; sebagai tanda menyerah dan sekaligus mengikat persahabatan.
Di balik pernikahan Putri Raja dan Pekik Nyaring, ternyata ada agenda khusus dari Sang Raja. Sang Putri ternyata ditugasi untuk mencari kelemahan, dan sekaligus bagaimana mengalahkan kesaktian Pekik Nyaring. Untuk menaklukkan kesaktian itu, Pekik Nyaring membuka rahasia bahwa arahkan panah “alang-alang
jantan” ke arah berlawanan dari mana datangnya suara pekikan; apabila suara di timur,
panah ke barat.
Rahasia kelemahan suaminya ini segera disampaikan Sang Putri kepada Sang Raja. Akhirnya, Pekik Nyaring pun ditaklukkan dan gugur.
“Tidak ada lagi orang khusus untuk menceritakan kisah ini. Penjaga makam, ya semua warga di sini,” kata Kamaluddin, yang rumahnya dijadikan tempat persinggahan tim ekspedisi.
Kisah Puyang Pekik Nyaring, memang ada beberapa versi. Namun penyampaian cerita sastra tutur tadut hampir tak pernah terdengar lagi. Generasi sekarang, nyaris
tidak tertarik lagi.
Legenda Puyang Pekik Nyaring, hanya satu kilasan tentang kisah “penguasa” masa lalu.
Hampir tak ada catatan khusus cerita serupa, kecuali cerita pengantar tidur dan hampir pula dilupakan. Peninggalan seperti makam ini, bisa jadi bukan satu-satunya di Muaralematang.
Sama cerita-cerita para “penguasa” yang ditandai dengan kesaktian seseorang di wilayah tertentu, melalui sungai. Walaupun ada penguasapenguasa daerah pegunungan
dan dataran tinggi, yang secara kultural memiliki perbedaan kental, mulai dari bahasa
sampai ke bentuk-bentuk bangunann tempat tinggal. Termasuk cara bertani dan mata pencaharian. Pengembangan wilayah dan munculnya “orang sakti” melalui sungai, lebih mudah terlacak melalui cerita-cerita legenda.
Dari bagian hilir, wilayah Palembang sebagai sungai utama di kawasan selatan Pulau Sumatera (Swarna Dwipa).Wilayah dengan sebutan Batanghari Sembilan, merujuk
pada anak-anak Sungai Musi hingga hulu perbatasan wilayah Bengkulu (pegunungan).
Bagian hulu Sungai Musi,mulai Sungai Kikim, Lintang dan wilayah Ulu Musi, dikuasai
dan terbagi dalam empat wilayah kekuasaan Empat Lawang (lawang berarti pintu).
Wilayah Empat Lawang, sejak zaman kemerdekaan secara administratif masuk dalam Kabupaten Lahat; Dan kini menjadi Kabupaten Empat Lawang, memisahkan diri dari Kabupaten Lahat).
Kabupaten adalah wilayah kekuasaan seorang bupati. Kabupaten Empat Lawang, meliputi
Tebingtinggi,
Talangpadang,
Pendopolintang, dan
Pasemah Airkeruh (Ulu Musi).
Wilayah ini kehilangan satu wilayahdari “kekuasaan” tradisional,yakni
Lawang-3 Muaradanau(Sungai Kikim).
Menurut penuturan tokoh masyarakat Desa Tanjungraya (Pendopolintang), Fadilah (80),
penjaga Lawang-1 bernama Puyang Ugau Sakti dari barat (hulu Sungai Musi) membawa
dan menyebarkan agama Islam. Ugau Sakti atau versi lain Rio Genang yang sakti, kelak
disebutkan mempersunting saudara perempuan Si Pahit Lidah, --satu versi menyebut--
penguasa kawasan Danau Ranau saat ini. Ugau Sakti atau Rio Genang, satu dari penguasa jalur sungai dari (legenda) Empat Lawang.
Lawang --dapat diartikan batas wilayah kekuasaan-- yang memunculkan para pendekar nan
sakti lainnya. Rio Kindi penguasa Lawang Sungai Kikim (Muaradanau); Rio Menang menguasai Lawang Ulu Musi, dan Rio Pikuk merupakan penguasa Lawang Tebingtinggi. Namun, Lawang Tebingtinggi ini menurut penuturan Fadilah, hanya dijaga penguasa setara hulubalang.
“Lawang satu lagi ada di hulu Sungai Lintang,” katanya. Pada masa itu, keempat wilayah kekuasaan ini hidup berdampingan dan rukun, setelah sekali waktu para pendekar sakti ini bertugas, memimpin dan bertanggung jawab menjaga wilayahnya. Begitupula anak-anak Sungai Musi lainnya, seperti penguasa Puyang Putri untuk Sungai
Rawas (makamnya diyakini berada di sebelah kiri muara Sungai Rawas); Ada Ki Merogan
di muara Sungai Ogan; Tuan Di Pulau (Sungai Komering); Ada pula nama Puyang Tamblang di Sungai Enim; Atau nama Puyang Perahu Dipa, yang justeru berani mengarungi arus deras dari hulu Sungai Lematang.
Namun, kekuasaan ini berakhir terutama saat masuknya Kolonial Belanda dan wilayah
kekuasaan “tradisional” ini dipecah-pecah. Belanda bukan hanya membuat perubahan
peta “penguasa sungai”, tetapi juga mengubah tradisi dan mobilitas warga. Bila sebelumnya, perkembangan budaya didominasi melalui sungai, kemudian bergeser dan pemukiman penduduk bergeser menghadap jalur darat.
*****
Desa Muaralematang, seperti desa-desa kebanyakan di pinggiran Sungai Musi. Bangunan
rumah kayu bertiang tinggi,dan satu-satunya rumah limas(atap berbentuk limas dan lantai bertingkat-tingkat), milik keluarga almarhum Nurhan; Rumah itu dihuni Ujang, putra ketiga Nurhan. Dan sungai,bukan satu-satunya jalan menuju ke sini, karena ada jalan darat yang terhubung ke Kecamatan Sungairotan-Gelumbang--jalan poros Prabumulih-Palembang.
Di tempat ini, diyakini warga Desa Muaralematang, sebagai “makam” Puyang Pekik Nyaring. Dalam versi lain, Puyang Pekik Nyaring dimakamkan di Sungai Enim (anak Sungai Lematang) dan masih ada versi lain yang meyakini legenda penguasa wilayah pada
masa lalu.
Di peta provinsi, letak desa ini memang jelas. Tetapi, tidak terdapat di peta kontur (permukaan bumi) skala 1:125.000 terbitan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional) yang direvisi tahun 1984. Tim Ekspedisi Lintas Musi Wigwam 2006,
yang telah menempuh perjalanan sekitar 300 kilometer dari hulu Sungai Musi, bertekad
mencapai Muara Lematang, walaupun sore itu matahari sudah jauh tenggelam. Titik ini
sesuai target perjalanan hari itu, start dari kota Sekayu, walaupun hari sudah gelap.
Sekadar untuk meyakinkan, tim bertanya dengan warga
desa. Menjelang pukul 21.00 perahu karet bermesin Yamaha 15-PK (tenaga kuda) ratarata
dipacu dengan kecepatan 10-12 kilometer perjam, mendekati dermaga kecil di bawah dua pohon besar. Bayangan pohon tinggi diterpa sinar bulan sabit, lebih jelas terlihat karena diterangi lampu-lampu petromaks motor sungai yang berlabuh untuk membongkar
barang --kebetulan besok hari kalangan, pasar mingguan.
Dua pohon besar yang letaknya berdampingan, pokok batang dan dahan-dahan, serta
rantingnya penuh dengan lumut, serta akar-akar besar yang bertonjolan menyeruak
dari permukaan tanah. Tanda tanda kasat mata itu, rasanya sudah cukup untuk
menunjukkan bahwa pohon itu sudah berusia ratusan tahun.Tak jauh dari kedua pohon --
bagian atasnya sudah saling bertautan-- itu, terdapat makam Puyang Pekik Nyaring.
Sebuah cungkup yang berdinding batu bata berplester, dan di bagian dalam ada gundukan tanah dengan beberapa batu besar dipasangi kain putih. Ada tikar dan pedupaan.
“Sering ada yang berkunjung dan berziarah untuk beberapa
saat,” ujar Kamaluddin (50), salah satu anak almarhum Nurhan, pemilik rumah limas, yang letaknya tak jauh dari makam. Tak ada yang aneh dari kompleks pemakaman ini, kecuali letaknya di tengah perkampungan penduduk. Selain itu, tulisan “Puyang Pekik Nyaring” di dinding beton bercat putih, dan sekelilingnya terdapat sejumlah makam, yang juga diyakini sebagai makam para hulubalang dan kerabat dekat.
Makam keramat dan dua pohon besar jenis pohon asam berakar tunggang, secara ekologis membuat kawasan tanjung Muaralematang, tidak tergerus pertemuan kedua sungai.
Pertemuan arus dengan debit air besar membuat arus putar (eddies), tetapi arus ini tidak menggerus dermaga kecil itu.
*****
LANTAS bagaimana merasionalkan perkembangan budaya masa lalu dikembangkan melalui sungai? Seluruh sungai di daerah ini dapat dilayari. Termasuk hingga ke hulu Sungai Musi. Jalur sepanjang 500 kilometer dari Muara Sungsang, sebenarnya memungkinkan untuk dilalui dan menjadi mobilitas masa lalu. Peninggalan dan bukti masih dapat dilihat. Perahu-perahu tradisional, termasuk rakit dari bambu merupakan alat transportasi. Perahu yang dibuat dari batang pohon, ternyata biasa menembus arus hingga ke hulu.
Masyarakat sepanjang Sungai Musi hingga ke hulu, ternyata memiliki kearifan lokal
dalam memanfaatkan sungai sebagai alur transportasi. Pada musim air besar, penghujan,
mobilitas kegiatan diarahkan ke hilir. Dorongan arus musim ini, lebih kuat. Sedangkan
musim kemarau, permukaan sungai turun, justeru arus lebih lambat sehingga memudahkan
mengayuh perahu ke arah hulu.
Logis bila jarak 400 kilometer bisa ditempuh sepuluh hari, dengan kecepatan mendayung
rata-rata 4 kilometer perjam; Setara dengan kecepatan ratarata
berjalan santai. Semakin ke hulu, memang arus sungai lebih deras. Teknik mendayung atau mengendalikan perahu di arus deras, ternyata tak beda dengan teknik mendayung yang dipelajari kalangan penggemar arung jeram. Termasuk untuk menembus arus yang berbahaya.
Mulai dari memilih jalur (teknik scouting) sampai menghindari jalur dengan teknik lining, yakni menarik perahu atau rakit dari darat. Atau justru, ada kesengajaan
para “puyang” menghindari arus deras Sungai Musi. Sehingga jalan darat dipilih menyusuri dataran tinggi antara Pulaubabak (Talangpadang) dan Tanjungraya (Pendopolintang), dan Lawang-1 dipilih bebukitan di pinggiran Desa Tanjungraya. Lawang-1 yang tetap sulit dijangkau oleh kekuatan melalui hilir.
Kemampuan “menguasai” arus sungai sebagai transportasi ini, paling kurang, dapat menjadi penanda besarnya sebuah kekuasaan yang pernah tumbuh di daerah itu. Ketika
para pakar --antara lain Bukhari dari Indonesia, Walters (arkeolog AS), Kasparis (Belanda), Yves Manguin (Prancis), dan John Nicksie (AS)-- mendiskusikan letak Kerajaan Sriwijaya, kondisi Sungai Musi dan anakanaknya menjadi salah satu faktor penentu.
Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya --yang menyodorkan bukti, selain fisik berbentuk naskah, candi, sisa kapal dan perangkatnya-- makin kuat setelah
kondisi sungai sebagai transportasi airnya juga dijadikan bahan studi. Teorinya, “Pohon paling besar adalah yang paling banyak dahan dan rantingnya”. Begitulah Sungai
Musi dan anak-anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar